Keberadaan taksi online yang diwakili oleh Grab dan Uber merupakan salah satu buah dari kegelisahan masyarakat yang membutuhkan alternatif transportasi yang murah, aman, dan nyaman. Alhasil, keberadaan dua perusahaan aplikasi transortasi yang berbasis online menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup taksi konvensional.
Tapi, apakah ancaman itu harus disikapi dengan demo dan upaya pemblokiran aplikasi?
Kemajuan teknologi sangat cepat dan sulit untuk dibendung. Apalagi kemunculan aplikasi seperti ini telah ada sejak 2014. Bahkan Taksi konvensional juga telah memiliki aplikasi pemanggilan taksi sejak 2011. Lantas masalahnya ada dimana?
Menurut konferensi pers yang disampaikan oleh salah satu Komisaris Blue Bird, mereka menginginka adanya kesetaraan bisnis di industri transportasi ini, yaitu harus punya Pool, Uji KIR, penyesuaian tarif, memiliki badan hukum, patuh terhadap peraturan yang berlaku.
Terlepas dari itu semua, sudah sepatutnya perusahaan taksi konvensional bisa melihat perkembangan zaman. Berpuluh tahun menjadi penguasa di bisnis ini ternyata menjadikan perusahaan taksi konvensional menjadi terlalu nyaman dengan keberhasilannya. Sehingga ketika ada pesaing yang menawarkan kemudahan berransportasi dan dengan harga yang lebih terjangkau, perusahaan taksi konvensional mulai tergerus akibat adanya peralihan konsumen ke transportasi online.
Perusahaan taksi konvensional memang telah menyediakan aplikasi yang bisa memanggil taksi kepada konsumennya, tapi masih merupakan aplikasi sederhana yang seharusnya masih bisa dikembangkan. Keberadaan aplikasi tersebut tak ubahnya seperti pemesanan melalui telpon, tidak ada perubahan layanan atau pun tarif.
Sebaiknya, taksi konvensional mau berbenah diri agar tetap dapat bersaing. Kemudian untuk taksi yang berbasis aplikasi, segeralah urus legalisasi operasi agar tercipta persaingan yang sehat. Kemudian biarkan konsumen memilih mana yang ingin digunakannya.
Tapi, apakah ancaman itu harus disikapi dengan demo dan upaya pemblokiran aplikasi?
Kemajuan teknologi sangat cepat dan sulit untuk dibendung. Apalagi kemunculan aplikasi seperti ini telah ada sejak 2014. Bahkan Taksi konvensional juga telah memiliki aplikasi pemanggilan taksi sejak 2011. Lantas masalahnya ada dimana?
Menurut konferensi pers yang disampaikan oleh salah satu Komisaris Blue Bird, mereka menginginka adanya kesetaraan bisnis di industri transportasi ini, yaitu harus punya Pool, Uji KIR, penyesuaian tarif, memiliki badan hukum, patuh terhadap peraturan yang berlaku.
Terlepas dari itu semua, sudah sepatutnya perusahaan taksi konvensional bisa melihat perkembangan zaman. Berpuluh tahun menjadi penguasa di bisnis ini ternyata menjadikan perusahaan taksi konvensional menjadi terlalu nyaman dengan keberhasilannya. Sehingga ketika ada pesaing yang menawarkan kemudahan berransportasi dan dengan harga yang lebih terjangkau, perusahaan taksi konvensional mulai tergerus akibat adanya peralihan konsumen ke transportasi online.
Perusahaan taksi konvensional memang telah menyediakan aplikasi yang bisa memanggil taksi kepada konsumennya, tapi masih merupakan aplikasi sederhana yang seharusnya masih bisa dikembangkan. Keberadaan aplikasi tersebut tak ubahnya seperti pemesanan melalui telpon, tidak ada perubahan layanan atau pun tarif.
Sebaiknya, taksi konvensional mau berbenah diri agar tetap dapat bersaing. Kemudian untuk taksi yang berbasis aplikasi, segeralah urus legalisasi operasi agar tercipta persaingan yang sehat. Kemudian biarkan konsumen memilih mana yang ingin digunakannya.
Comments
Post a Comment